Sadap Menuju Makassar Satu

oleh

ACCARITA – Taklama lagi, kurang dari setahun, Kota Makassar akan memilih putra-putri terbaiknya untuk ditahtakan sebagai Walikota. Di tempat-tempat strategis di berbagai penjuru kota, sudah mulai dipenuhi gambar-gambar kandidat terpajang. Memperhatikan gambar-gambar itu sambil lalu, kadang timbul perasaan geli di hati. Tengok saja tagline mereka. Selain semuanya menawarkan optimisme, tetapi ada juga yang terkesan “memaksa”.

Namun, di antara semua itu, terselip sebuah tagline, menurutku, begitu bersahaja. “SADAP”, sebuah tagline yang merupakan akronim dari Syarifuddin Daeng Punna. Siapakah sosok itu? Suatu malam di Warkop Phoenam Gondangdia Jakarta, saya bertemu dengannya tanpa sengaja.

Lahir di Kerungkerung, 1964. Anak tunggal yang ditinggal mati ayahnya pada saat masih sangat belia, 8 tahun. Sejak itu, Syarifuddin bersama ibunya hidup berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain sebanyak 16 kali hingga ia berusia 28 tahun. Mengenang masa-masa itu, Syarifuddin tersenyum kecil, namun getir di wajahnya, tak mampu ia sembunyikan.

Syarifuddin kecil, setiap sore setelah pulang sekolah di SD Barabaraya, Massenrengpulu, kerjanya menyusuri lorong-lorong kumuh di Makassar, mencari botol-botol kosong, tanpa sepengetahuan ibunya. Menjadi pemulung di samping menjual Es Mambo, terpaksa ia jalani untuk membantu ibunya mencari nafkah, hingga tammat di SMP PGRI di Kampung Hollywood, Bonecom, Mariso.

Lulus dari SMA 5 Makassar pada 1984, Syarifuddin terpaksa menganggur. Ibunya tidak mampu membiayai dirinya kuliah. Tetapi keinginannya untuk menuntut ilmu tak pernah padam. Hingga suatu ketika, ia berkesempatan kuliah di Fak. Teknik UKI Paulus Ujung Pandang atas nama orang lain, pada tahun 1985.

“Ada teman saya, tidak mau kuliah tetapi tetap dipaksa orang tuanya. Ia meminta saya menggantikannya kuliah atas namanya. Saya bersyukur mendapat ilmu keteknikan, meskipun tidak mendapatkan ijazahnya,” tuturnya.

Sembari kuliah, Syarifuddin bekerja serabutan sebagai buruh pikul barang di gudang UD. Tangan Mas di kompleks pertokoan Pasar Sentral. Bermodalkan pekerjaan itu, Syarifuddin pun memberanikan diri menikah pada tahun 1986. Semenjak itu, ia dipanggil sebagai Daeng Punna oleh keluarganya. Maka jadilah ia bernama Syarifuddin Daeng Punna (SADAP).

Namun, tak sampai setahun, ia berhenti, karena tidak mau berkomplot dengan buruh-buruh gudang untuk mencuri barang-barang majikannya. Berhenti dari UD. Tangan Mas, SADAP lantas menjadi calo tiket Pelni di Jalan Nusantara, sebelum menjadi sales sopir kanvas di PT. Bentoel di Jalan Bawakaraeng pada tahun 1987.

SADAP mungkin memang sosok yang berbakat. Setelah tiga tahun menjadi sales rokok Bentoel, ia kemudian diangkat menjadi supervisor yang membawahi puluhan sales. Seiring dengan itu, kehidupan keluarganya perlahan membaik. Apakah pencapaiannya itu lantas membuatnya berubah dan pongah? Tidak.

SADAP tetaplah sosok bersahaja. Seorang yang sadar akan dirinya yang memulai karier dari tingkat paling bawah. Hal ini yang membuat dirinya disenangi oleh buruh-buruh dan karyawan. SADAP bahkan menjadi inspirator dan motivator bagi para sales untuk mengalahkan penjualan Gudang Garam dan Djarum di Sulawesi Selatan.

Prestasi dan pencapaian SADAP, tanpa ia sadari, menimbulkan iri hati bagi rekan-rekan sejawatnya. Suatu waktu, terjadi unjuk rasa buruh dan karyawan menuntut perbaikan nasib di kantornya. Kesempatan itu lantas digunakan oleh para pembencinya untuk menudingnya sebagai provokator. Seperti kata pepatah: “Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”. SADAP pun dipecat tanpa diberi kesempatan membela diri.

SADAP kembali terpuruk dan kerja serabutan. Namun di tengah situasi itu, datang Max Royan dan Siringoringo, teman kuliahnya di UKI Paulus, menawarinya bergabung dengan PT. Wiratman, sebuah perusahaan konsultan konstruksi. Mulanya hanya sopir lalu menjadi surveyor. Tak sampai setahun ia berhenti karena kecelakaan. Tetapi, meski hanya sebentar, namun di sinilah ia memperoleh pengalaman dan wawasan tentang dunia usaha.

Berhenti dari PT. Wiratman, sekali lagi, SADAP terpuruk. Tetapi ia tak menyerah. Ia tetap berusaha bangkit dengan melamar pekerjaan PT. Baji Pammai Coorporation (Bapamco), distributor minyak goreng “Kunci Mas” di Ujung Pandang. Di sini, SADAP kembali memulai karier sebagai sales. Bermodalkan pengalaman di PT. Bentoel, kariernya menanjak dengan cepat. Dari Sales menjadi Supervisor, kemudian Manajer Area, lalu menjadi Kepala Perwakilan di Palopo. Semua itu dicapai dalam tempo tiga tahun.

Tahun 1993, terjadi konflik pemilik saham di internal Bapamco. SADAP memilih keluar dan mendirikan PT. Pela Sakti bersama teman-temannya. Mulanya hanya distributor telur ayam kemudian berkembang menjadi perusahaan konstruksi. SADAP sudah memiliki banyak waktu luang. Kesempatan itu lantas digunakan untuk menyelesaikan studinya di STIE – LPI Jalan Bung Ujung Pandang dan berhak menyandang gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 1998.

Hidup SADAP semakin mapan. Bahkan pada tahun 2000, ia mengakuisisi seluruh saham PT. Pela Sakti, sehingga menjadi miliknya sepenuhnya. Dalam waktu singkat, perusahaannya berkembang dengan pesat. Hanya beberapa tahun, ia sudah memiliki modal hingga puluhan milyar. Puncaknya pada tahun 2008, ia beralih menjadi pengusaha tambang nikel dengan konsesi puluhan ribu hektar yang tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, bahkan sampai di Pulau Halmahera, Maluku.

Syarifuddin Daeng Punna, SE., kini 55 tahun, sudah memiliki segalanya. Obsesinya tinggal satu : mengabdikan dirinya untuk membangun Makassar. Tidak main-main, ia rela memutuskan pensiun dini dari usahanya. SADAP, anak Makassar asli yang hidup dari lorong ke lorong sejak bocah hingga remaja, teruslah berjuang. Siapa tahu, Makassar memang takdirmu. (Yarifai Mappeaty)

No More Posts Available.

No more pages to load.