KPK Harus Bentuk Satgas Untuk Mengawasi

oleh

 

ACCARITA, — Pakar Otonomi Daerah, Prof Dr Djohermansyah Djohan MA mengatakan, bahwa dalam pilkada itu ada larangan, tidak boleh calon memberi uang dan pemilih termasuk partai tidak boleh menerima uang (politik uang).

Jadi kalau si calon untuk mendapatkan sesuatu, bisa diartikan antara lain suara, rekomendasi partai, tapi dengan cara membeli.

“Ini namanya politik transaksi, politik jual beli. Saya minta rekomendasi dari partai dan anda minta apa dari saya. Kata partai, kami minta uang terlepas uang itu dipakai untuk apa misalnya untuk kepentingan kampanye si calon. Tetapi apakah itu benar adanya? Selama ini tidak pernah ada catatan di keuangan partai kalau dia menerima uang dari si calon,” paparnya.

Hal ini, kata Guru besar IPDN ini, dinamakan transaksi vehicle buying, ada transaksi untuk beli kendaraan yang kita sebut juga mahar politik. Calon meminta partai untuk memilihnya kemudian partai minta uang mahar.

“Itu sebenarnya menyalahi prinsip pemilu yang bebas dari kecurangan. Karena itu namanya curang. Karena itu tidak masuk ke kas partai tapi masuk ke kantong oknum-oknum pengurus partai. Ini merupakan pendidikan politik yang buruk dari para pemimpin partai,” terang pria peraih Sarjana Adhi Praja Nugraha (penghargaan bagi lulusan terbaik lIP) tahun 1984 ini.

Fenomena akhir akhir ini ada calon yang lebih memilih maju sebagai calon independen saja. Karena tidak mau dimintai uang oleh partai. Dari segi itu juga menyebabkan orang-orang idealis tidak bisa menjadi pemimpin padahal dia merasa pantas tapi tidak mau mengikuti cara-cara praktek membeli rekomendasi partai itu, membeli kendaraan, atau memberi mahar.

“Prakteknya yang saya ketahui, untuk mengusung harus memenuhi minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara. Misalnya, 10 kursi DPRD Provinsi lalu 1 kursi DPRD itu dihargai 1 miliar, dikali 10 kursi nilainya 10 miliar. Dalihnya kami untuk mendapatkan kursi DPRD dalam pemilihan umum menghabiskan ongkos yang besar. Oleh karena itu anda harus beri kontribusi senilai harga kursi itu. Tentu bila benar, maka itu adalah praktek yang menyimpang,” ungkapnya.

Maka untuk perbaikan kedepan, Prof Djo menyarankan, supaya tidak lagi dihargai kursi DPRD seperti itu, yang punya efek negatif pada pilkada. Sebaiknya kedepan jangan lagi sistem pemilihan anggota DPRD atau DPR RI dengan cara proporsional dengan daftar calon terbuka.

“Kembali saja ke model yang lama proporsional dengan daftar calon tertutup. Jadi sistem pemilu mendatang coblos tanda gambar bukan coblos orang,” ujar Pj Gubernur Riau 2013-2014 ini.

Prof Djo menegaskan, bentuk penyuapan pembelian suara baik yang memberi maupun yang menerima dua duanya kena sanksi pidana. Dalam aturan main normatif UU Pilkada No 10 Tahun 2016 jo UU sebelumnya No 8 Tahun 2015 dalam pengaturannya ada larangan kepada partai atau gabungan partai menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan kepala daerah.

“Lalu apa akibatnya jika partai terbukti menerima mahar, maka partai itu dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Itu merupakan akibat yang harus ditanggung,” ucap Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini.

Yang kedua, sambungnya, harus dibuktikan secara hukum terlebih dahulu di pengadilan. Kalau memang terbukti secara hukum di pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka penetapan calon, calon terpilih, atau sudah terpilih menjadi kepala daerah maka pengangkatannya itu dibatalkan. Sedangkan bagi oknum partai yang menerima imbalan diancam penjara paling kurang 3 tahun dan paling lama 6 tahun. Atau denda paling sedikit 300 juta dan paling banyak satu miliar.

“Untuk menganulir calon pilkada harus dibuktikan dahulu secara hukum. Saran saya baiknya lakukan OTT kalau tidak begitu panjang ceritanya. KPK harusnya bentuk satuan tugas untuk mengawasi skandal dalam mahar politik ini. Itu jalan keluarnya. Misalnya dia transaksi bawa uang kemudian siapa penerimanya misalnya pejabat teras partai. Biasanya pakai uang cash,” tandasnya.

Dia menegaskan, dari segi asas pemilu, suatu pemilihan harus bebas dari kecurangan, karena tidak ada gunanya pemilihan kepala daerah (pilkada) jika terjadi kecurangan.

“Kecurangan dalam pemilihan itu akan diikuti oleh kecurangan lain. Jika saja dia terpilih jadi pemimpin pemerintahan, maka proses penyelenggaraan pemerintahan bakal menjadi koruptif. Jadi, rakyat tidak bisa mengharapkan untuk mendapatkan kesejahteraan dari pemimpin yang perilakunya curang itu. Itu prinsip,” ujar Prof Djo sapaan akrabnya kepada otonominews, Selasa (8/9/2020).

Maka, kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri 2010-2014 ini, dalam pemilihan itu perlunya free and fair, harus bebas tidak boleh ada paksaan dan jujur.

“Kalau dulu cuma luber. Tapi setelah reformasi kita mengenal istilah luber dan jurdil. Tidak boleh ada kecurangan dan adil, tidak boleh ada keterpihakan dari pemegang kekuasaan terutama terhadap kroni-kroni konco-konconya untuk memenangkan pemilihan dengan curang. Itu filosofi, historis dan prinsipnya,” tegas Presiden i-Otda (intitut Otonomi Daerah) ini.

Tentang Penulis: Penulis Website

Pimpinan Redaksi Accarita.com

No More Posts Available.

No more pages to load.