ACCARITA, – Nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Dewan Pers dengan Kepolisian Republik Indonesia yang membedakan penanganan perkara pers dengan perkara lain dianggap belum banyak diketahui Polisi di berbagai daerah.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat meminta dengan hormat kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pasarwajo, Buton, membebaskan Wartawan M Sadli Saleh dari jerat hukum.
Sikap PWI Pusat ini secara konkrit segera dituangkan dalam Surat resmi secara Kelembagaan. PWI Pusat kini turun tangan langsung mengadvokasi proses hukum yang menjerat Wartawan Sadli
Ketua Umum PWI Pusat, Atal S Depari melalui Ketua Bidang Advokasi PWI, Ochtap Riady mengatakan, bahwa sudah ada tiga contoh kasus yang ditangani oleh Mahkamah Agung, dan dari kasus tersebut oleh Mahkamah Agung mengembalikan persoalan sengketa pers ke Dewan Pers.
“Bukan bermaksud intervensi, tapi Majelis Hakim melihat secara bijak bahwa sengketa pers itu jalur penyelesaiannya ke Dewan Pers melalui Undang-Undang Pers, sudah ada tiga putusan Mahkamah Agung bahwa semua penyelesaian Pers dikembalikan ke Dewan Pers, Hakim harus membebaskan Sadli,” kata Ochtap, Minggu (16/2).
Ketua Bidang Pembelaan/ Advokasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Ocktap Riady sangat prihatin dengan penahan Wartawan di Buton tersebut.
“Yang jelas kami dari PWI prihatin dengan kasus yang menimpa Wartawan di Buton itu,” tegasnya.
Menurut mantan ketua PWI Sumsel ini, aparat seharusnya untuk kasus Wartawan harus menerapkan UU Pers, karena berdasarkan pasal 15 UU Pers ayat 2 c, keberatan terhadap sebuah karya jurnalistik diselesaikan oleh Dewan Pers dan dilakukan dengan prosedur hak jawab dulu.
“Polisi juga tidak mematuhi MoU antara Kapolri dengan Dewan Pers, bahwa penyelesaian perkara Pers harus melalui UU Pers, jangan langsung menerapkan UU ITE,” tegasnya..
Meski harus dihadapkan dengan UU ITE, kata Ocktaf juga tidak boleh langsung melakukan penahanan.
Menurutnya, apapun namanya, sengketa Pers harus dikembalikan ke Undang-Undang Pers. Artinya, jika dalam sebuah pemberitaan terdapat kesalahan ataupun kekeliruan, disitu ada hak jawab maupun hak koreksi. Kemudian nanti, Dewan Pers akan memanggil para pihak yang merasa keberatan, termaksud yang memberitakan.
“Jadi misalnya, tulisan anda salah, anda tidak menyertakan data-data yang jelas, dan ketika Dewan Pers nyatakan salah, ada kewajiban kita meminta maaf dan klarifikasi, tapi jika digunakan Undang-Undang ITE, bahaya untuk wartawan,” ujarnya.
Seharusnya lanjut dia, Polres Baubau, Sulawesi Tenggara tidak serta merta menerapkan UU ITE dalam kasus ini, apalagi kata Ochtap, sudah ada keterangan dari Ahli Dewan Pers yang menyatakan bahwa kasus yang menyeret Sadli masuk dalam sengketa Pers. Namun, anehnya pihak kepolisian tetap melanjutkan kasus tersebut dan mengabaikan keterangan dari saksi ahli Pers tersebut.
Nanti surat akan dikirimkan dilengkapi putusan Mahkamah Agung yang menyatakan masalah Pers harus diselesaikan melalui UU Pers,” terang Wakil Ketua Bidang
Pembelaan/Advokasi PWI Pusat, H Ocktap Riyadi SH. Menurut Ocktap, PWI Pusat mengadvokasi, dan meminta Sadli dibebaskan dari jerat hukum yang didakwakan, setelah melakukan cek fakta dan data. Kata Ocktap, Dewan Pers menyatakan, liputanpersada.com, saat ini tengah dalam pemenuhan verivikasi media (Pendataan Dewan Pers).
Media ini sudah meng up load data media mencapai 90% persyaratan yang ditentukan. Ocktap juga mengakui Sadli sebagai anggota PWI, ditandai dengan Sertifikat, keikutsertaan Sadli dalam orientasi anggota PWI Baubau.
“Memang belum sepenuhnya
verified (up load administrasi pendataan Dewan Pers, red). Tapi, seperti Moh Sadli yang mau menjadi anggota PWI, dia sudah ikut orientasi dan dapat sertifikat. Tapi, blm diangkat jadi anggota (de jure). Defakto sebenarnya, sy tafsirkan, dia sudah jadi anggota PWI.
Jadi, seyogianya jangan ditafsirkan kaku dia belum anggota PWI,” kata Ocktap.
Ocktap lantas menjelaskan singkat mekanisme advokasi PWI Pusat, yang menurutnya dapat dilakukan sejak awal bergulirnya pengaduan Pers,
Jusnalistik. PWI dapat mengirim Surat meminta pihak Kepolisian menggunakan Undang-Undang Pers. Ocktap mencontohkan yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan, pihak Kepolisian berkoordinasi dengan PWI, meminta tanggapan tentang Pengaduan terhadap Pers.
“Jika pun tetap bergulir di Polisi, kita harus memastikan bahwa cara cara Polisi yang memeriksa Tersangka sesuai dengan MoU Polri dan Dewan Pers,” jelasnya.
Ocktap menambahkan, langkah advokasi yang dilakukan atas Pengaduan terhadap Pers, tergantung pada PWI di masing-masing daerah.
Biasanya, kata dia, PWI Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan PWI Provinsi, dan PWI Provinsi bekoordinasi dengan PWI Pusat.
Terkait kasus Sadli, Ocktap mengaku baru mengetahuinya saat menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu.
“Saya baru tahu kasus ini saat HPN di Banjarmasin. Tidak ada koordinasi dengan saya. Ini seingat saya.
Cuma beberapa hari lalu PWI Pusat meminta saya aktif membela kasus ini.
Tapi sebelumnya saya sudah koordinasi dengan teman-teman AJI. Jabatan saya Wakil Ketua Bidang Pembelaan/Advokasi Wartawan, jadi seharusnya, jika terjadi kasus ini mereka koordinasi.
Mungkin kerena Sadli dianggap belum anggota PWI, jadi tidak perlu koordinasi,” jelasnya lagi.
Ocktap menambahkan, arti Wartawan sesuai Undang-Undang Pers adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Tidak tercantum dalam Undang-Undang Pers, bahwa seorang Wartawan harus bekerja di Perusahaan Pers berbadan hukum.
“Tertulis seperti itu, tidak dicantumkan dia harus berkerja di perusahaan yang berbadan hukum. Kalau Perusahaan Pers wajib berbadan hukum,” terang Ocktap.
Ocktap berharap, PWI dapat membantu Sadli, dan Sadli dapat dibebaskan. “Mudah mudahan saya bisa membantu. Nanti kita kirim Surat ke Majelis Hakim, meminta Majelis Hakim dalam putusannya nanti membebaskan Sadli,” doanya. (Tim)