ACCARITA, — Warga meminta kepada Kepolisian Resort (Polres) Takalar untuk segera mengusut penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan penambang pasir laut di Kecamatan Galesong Utara (Galut).
Pasalnya, penyaluran dana CSR sebagai kompensasi sejumlah perusahaan penambangan pasir laut Galesong mulai tahun 2019 hingga 2020 yang diberikan kepada tujuh desa di Galut tersebut, diduga tidak transparan.
Salah satu warga Galut, Ibnu Hajar Daeng Ngerang mengungkapkan, penyaluran dana CSR dari perusahaan penambang pasir laut Galesong kepada tujuh desa di Galut tersebut tidak rasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Ketujuh desa dan kelurahan di Galut yang mendapatkan CSR dari perusahaan penambang pasir, lanjut dia, yaitu Desa Aeng Towa, Aeng Batu Batu, Sampulungan, Tamalate, Tamasaju dan Desa Bontosunggu, serta Kelurahan Bontolebang.
Hanya saja, Ibnu mengaku, tidak mengetahui perusahaan-perusahaan apa saja yang telah menyalurkan CSR-nya di tahun 2019. Sebab, pihak desa tidak menyampaikannya kepada masyarakat.
“Bahkan, kami selaku warga terdampak tidak mengetahui berapa besaran dana CSR yang diberikan oleh perusahaan yang melakukan penambangan pasir itu mulai tahun 2019. Padahal, nilainya itu diperkirakan mencapai miliaran Rupiah. Itu karena pihak desa tidak transparan kepada warga,” ungkapnya.
“Kami hanya tahu pada bulan Februari-Juni 2020, itu ada perusahaan bernama PT. Alevu ikut memberikan CSR-nya. Kemudian mulai pertengahan bulan Juni sampai Desember 2020, ada PT. Banteng Laut Indonesia. Itupun kami tidak tahu berapa jumlahnya, karena pemerintah desa tidak mengumumkan kepada warga,” akunya.
Oleh karena itu, pria yang akrab disapa Panglima Garancing ini meminta Kepolisian untuk mengusut penyaluran dana CSR ini. Karena ada dugaan kongkalikong perusahaan dengan Kepala Desa, sehingga mereka tidak mau transparan. “Kami menduga ada permainan terselubung antara perusahaan penambang dengan ketujuh Pemdes ini. Makanya, kami minta Polisi segera mengusut tuntas masalah ini, jangan sampai dana CSR yang semestinya diberikan untuk meningkatkan pendapatan warga, justru hanya dinikmati oleh oknum-oknum aparat desa,” tegasnya.
Selain itu, ia mengatakan, MoU tentang CSR yang dibuat oleh PT Banteng Laut Indonesia dengan tujuh kepala desa di Kecamatan Galut tersebut, tidak jelas dasar hukumnya. Bahkan, di dalam MoU itu, lanjut dia, tidak disebutkan besaran CSR yang diberikan kepada masyarakat yang terdampak aktivitas penambangan pasir.
“MoU-nya itu tidak jelas apa dasar hukumnya, jumlah CSR-nya juga tidak disebutkan di dalamnya. Parahnya lagi, dana CSR yang seharusnya diperuntukkan bagi pemberdayaan ekonomi warga, justru oleh sejumlah kepala desa digunakan untuk membeli perlengkapan kantor desa. Selain itu, CSR ini bukan pajak atau retribusi yang dipungut oleh pemerintah, kok malah CSR dijadikan pendapatan lain-lain desa,” tandasnya.
Sementara itu, Akbar Nugraha selaku Direktur PT Banteng Laut Indonesia, yang dikonfirmasi tidak berhasil. Nomor telepon selulernya yang dihubungi malah direject (tolak). Pesan singkat yang dikirimkan via Whatsapp, juga tidak dibalas.
Berlanjut edisi berikutnya…